Bab 6. White Mocca
Pertama kali dalam hidupnya, Andara mendengar hardikan yang sangat kencang dan kasar. Meskipun ia tidak bisa mengerti seluruh kata-kata pria di depannya, tapi Andara tahu, bahasa yang ia gunakan benar-benar tidak sopan.
Ia berulang kali mengucapkan ulang kata gaijin, cara yang kurang sopan bagi orang Jepang untuk menyebut orang asing. Selain itu, ia juga berbicara sambil mengacungkan jari telunjuknya.
Andara nekad. Keterbatasan bahasa tidak akan mampu menahan gejolak emosinya. Gadis itu memang tidak boleh marah. Ia akan kalap. Lupa ingatan, tepatnya mirip orang gila.
"Anda tidak sopan!" bentak Andara balik.
Pria itu naik darah. Ia mengangkat tangan dan mengambil pose menampar. Saat Andara baru saja akan menangkis tamparannya, tamu pria itu bangkit dan menengahi mereka.
"Tolong berhenti...".
Andara tertegun.
Ia mengedipkan mata berulang kali.
"Miss Wasabi, sebenarnya ada apa ini?" tanya tamu itu.
Miss Wasabi? Maksudnya gue, gumam Andara bingung.
"Maafkan saya... saya akan tangani pekerja ini dengan lebih baik lagi" ujar pria yang tadi hampir menampar Andara.
Tamu yang mengenakan jas biru itu menurunkan tangan sang pria gemuk. Ia mencoba menenangkan emosi pria berjaket hijau telur asin tersebut.
"Sebenarnya ada apa, bisakah kau jelaskan?".
"Gadis ini... ia masuk ke dalam ruang perakitan elektronik tanpa mengenakan seragam yang lengkap. Ia tidak mematuhi peraturan dan berani-beraninya keluar di luar shift kerja" adu pria itu.
Tamu itu mengernyitkan dahi, ia kemudian menoleh ke arah Andara.
"Apa yang kau lakukan di ruang perakitan elektronik?".
Andara terperanjat! Ia baru sadar jika pria di depannya adalah Ryuichi Sakamoto! Pantas saja ia merasa pernah melihat wajah pria itu entah dimana.
"Sakamoto san?".
"Iya... kenapa Miss Wasabi bisa ada di sini?".
"Saya... saya ... " Andara pun menjelaskan kronologi insiden yang ia alami dalam bahasa Inggris. Ia menceritakan bagaimana petugas jaga itu mengarahkannya untuk memasuki ruang loker, dan sesampainya di sana ia tidak tahu harus berbuat apa.
Sakamoto membalikkan badan. Tanpa diduga Andara, Sakamoto langsung memarahi pria gemuk yang bernama Murayama tersebut. Wajah sang supervisor pabrik berubah pucat. Ia segera meminta maaf pada Andara. Ia tidak tahu jika gadis itu merupakan perwakilan dari kantor pusat yang akan mengecek model alat translasi yang tengah dikembangkan oleh pabrik tempat Murayama bekerja. Ia berdalih bahwa minggu lalu ada karyawan yang berhenti dan ia pikir Andara adalah pengganti karyawan tersebut.
"Susah susah saya berhasil meyakinkan Watanabe san untuk memilih pabrik anda sebagai partner. Kalau begini caranya, hubungan profesional kita sampai disini saja" bentak Sakamoto. Andara terdiam.
Sakamoto, Ryuichi ini... siapa?
Kenapa sepertinya doski powerful sekali?
Andara mengikuti langkah Sakamoto keluar ruangan Murayama. Pria gemuk itu masih meminta maaf dan berharap Sakamoto San tidak menarik kontrak kerjasama mereka.
Sakamoto tidak mengindahkan tangisan Murayama. Ia segera mengajak Andara untuk masuk ke dalam mobil dinasnya yang berwarna putih.
"Sakamoto san..." panggil Andara pelan.
"Sudah... tidak usah berterima kasih. Sudah sewajarnya saya membelamu...".
"Bukan itu...".
"Apa maksudmu?".
Andara menunjuk ke arah seragam yang masih ia kenakan. Sambil tersenyum kuda, ia meminta izin untuk mengganti pakaian.
Sakamoto menepuk dahi. Ia buru-buru menyuruh Andara turun dan berlari ke ruang loker. "Sembunyi, sembunyi ya... gengsi tadi udah marah-marah" bisiknya sambil menundukkan kepala. Ia berharap Murayama tidak menyusul ke arah mobil dinasnya.
Pria itu bersembunyi di balik kemudi. Matanya mengamati situasi sekitar, berharap Andara cepat kembali tanpa tertangkap oleh siapapun.
Tak lama kemudian, sosok Andara menyembul dari balik jendela. Gadis itu melompat keluar jendela dengan gagah berani. Ia kembali ke mobil Sakamoto sambil mengendap-endap.
"Cepat, cepat..." seru Sakamoto melambaikan tangan.
Andara buru-buru masuk dan memasang seatbelt. Tanpa pikir panjang, Sakamoto langsung menyalakan mesin dan mereka berdua melesat keluar dari parkiran pabrik yang berlokasi di Saitama tersebut.
"Waduh, saya lupa... Kobayashi san!" seru Andara.
"Kobayashi?".
"Supir yang tadi mengantar saya".
"Ah, nanti saya telepon dia. Kamu sekarang ikut saya kembali ke Tokyo".
Andara memegang seatbeltnya erat-erat. Ia berteriak ketakutan karena Sakamoto mempercepat laju mobil.
"Ampun...ampun... ".
Mendengar jeritan Andara, pria itu pelan-pelan menurunkan kecepatan mobil. Ia meminta maaf.
"Sorry, kamu takut ya?".
Andara mengangguk pelan. Jantungnya hampir copot. Sepanjang perjalanan ia tidak bisa berkata-kata. Insiden tadi siang benar-benar membuatnya terkejut. Sejak mendarat di Jepang, ini adalah pengalaman diskriminasi terbesar dalam hidupnya.
Orang asing? Bodoh? Hanya mau ambil uang dari Jepang?
Entah seperti apa perlakuan Murayama terhadap pekerja-pekerja asing di pabrik itu. Jepang memang tengah menghadapi lonjakan penduduk asing akibat penurunan jumlah kelahiran. Untuk memenuhi pos-pos tertentu, mereka terpaksa menggunakan jasa pekerja dari negara-negara lain seperti India, Vietnam, dan Cina.
Sakamoto sepertinya menyadari kegelisahan Andara. Pria itu bertanya apakah Andara mau menyegarkan diri sejenak di rest area.
"Yuk, kita ngopi dulu" ajak pria itu.
Andara mengikuti langkah Sakamoto. Gadis itu mulai merasakan jengah. Ia menjadi pusat perhatian karena tengah berjalan di sebelah Sakamoto. Andara bisa merasakan gelombang kecemburuan yang besar. Saat ia menoleh, gadis itu mendapati sejumlah wanita yang menatap bengis ke arahnya.
Perasaan ini, persis ketika ia berjalan dengan Maruyama, eh maksudnya Shota! Andara mulai cemas, apakah penampilannya terlalu di bawah standar? Lalu kenapa wanita-wanita nampak tidak menyukai kebersamaannya dengan seorang pria Jepang?
"Ngomong-ngomong, saya lupa nama kamu... kita sudah pernah bertukar nama belum sih?" tanya Sakamoto sambil membetulkan gagang kacamata.
"Ah, kalau kamu lupa... nama saya Andara. Panggil saja Anda, atau Dara...".
"Hmm... saya suka nama Dara. Hmm, boleh saya traktir kopi?".
"Eh?".
"Nanti kalau sampai Tokyo, saya traktir makan besar, hitung-hitung untuk meminta maaf atas insiden tadi... mau?".
Andara mengangguk. Perutnya memang lapar. Ide yang bagus sekali jika ia bisa makan malam dengan porsi besar.
"Ok, kita grab kopi dulu. Dara-san mau makan apa nanti?" tawar Sakamoto ramah.
"Sushi set...".
"Ok, bagaimana kalau sushi zanmai di yurakucho?".
"Oh, yang terkenal itu? Mau!" seru Andara penuh antusias.
Senyum pria itu membuat Andara tersadar. Astaga, apa yang baru saja ia lakukan? Kenapa ia mengiyakan tawaran Sakamoto?
"Duh, pake acara request lagi... elo cari mati!" sesalnya dalam hati. Ia mulai khawatir jika Miss Watanabe sampai tahu kalau ia dine out bersama Sakamoto san.
"Ini..." ujar pria berkacamata itu. Andara menerima segelas white mocca dari tangan Sakamoto. Gadis itu berulang kali melihat ke arah Sakamoto. Bagaimana pria itu tahu minuman kesukaannya? Rasanya tadi gue belum kasih tau mau pesen apa, gumam Andara bingung.
Minuman favoritnya sejak tiba di Jepang. Hampir setiap hari ia memesan minuman itu di kafe dekat stasiun. Kadang-kadang sepulang kantor, ia sengaja menghabiskan waktu di kafe sambil melihat lalu lalang turis yang menyeberangi Shibuya Crossing. Sampai hari ini, ia tidak habis pikir kenapa tempat penyeberangan tersebut menjadi begitu populer di kalangan turis. Seakan-akan belum sah pergi ke Jepang kalau belum menyeberangi Shibuya Crossing.
Wajah Andara memerah saat melihat pesan yang tertulis di gelas.
Dara, Cheer up!
Serius? Masa sih, Sakamoto sengaja meminta pelayannya menuliskan pesan ini? Andara menampar pelan pipinya.
"Bangun... bangun... jangan ngayal...".
"Iya jangan ngayal..." sahut suara seorang perempuan di belakangnya.
Andara nyaris pingsan. Di belakangnya sudah berdiri sosok perempuan bermuka rata. Gadis itu buru-buru memalingkan wajah. Ia berpura-pura tidak mendengar bisikan hantu perempuan itu.
"Kenapa genrenya tiba-tiba jadi horor begini?" kutuk Andara dalam hati. Sambil memegang white moccanya, ia menembus ratusan makhluk yang berjejer manis di sepanjang koridor pertokoan rest area.
Dipikir-pikir, sejak pulang dari pameran hantu itu, kemampuannya semakin terasah. Andara jadi teringat dengan tangan yang muncul di balik pot kantor. Masa sih itu hantu juga?
"Kamu mikirin apa?" tanya Sakamoto sambil memasang seatbelt.
"Ah... tidak, masih tentang kejadian tadi".
"Oh, kamu tidak baca pesan dari saya?".
"Pesan apa?" tanya Andara berpura-pura tidak tahu. Sakamoto menunjukkan gelas kopi Andara. Wajah Andara kembali memerah.
"Jangan dipikirkan... seharusnya kita bersyukur tidak memiliki rekan kerja seperti dia".
Andara mengangguk.
"Sebenarnya aku tidak mengerti kenapa Watanabe san menyuruhmu pergi menemui Murayama. Apa ia sengaja memberikanmu sebuah masalah?" tanya Sakamoto sambil menghirup minumannya.
Mata Andara terbelalak. White mocca juga? Masa sih dia memesan kopi yang sama denganku, gumam gadis itu penasaran.
"Apa kau sudah mendengar peraturan konyolnya?".
"Apa maksudmu?".
"I heard it from my late-colleague .. dia meninggal karena peraturan konyol itu".
"La...la-te apa? Maksudmu ia sudah meninggal?". Andara menarik rambut pendeknya ke belakang telinga. Ia ingin meyakinkan diri bahwa pendengarannya tidak salah.
"Ya, karena peraturan konyol itu. Ia merasa tertekan karena menjadi kolegaku. Saat itu kami memang sedang menangani sebuah proyek bersama. Watanabe menekannya, hingga gadis itu memutuskan untuk bunuh diri. Sayang sekali tidak ada bukti otentik yang mampu menunjukkan bahwa Watanabe adalah penyebabnya melakukan bunuh diri".
Becanda, kan? pikir Andara gusar. "Apakah maksudmu peraturan untuk tidak...".
"Mendekatiku?" timpal Sakamoto sambil meremas kemudi.
Andara terdiam.
Seriously, peraturan ini sudah memakan korban? Ia kira, peraturan ini hanya sekedar halusinasi sang bos, dan come on, masa sih sampai ada korban yang berjatuhan?
Benar-benar tidak masuk akal. Kejam juga si bos kalau berita ini benar.
"Apakah kau juga diancam?" tanya Sakamoto.
Andara melirik pelan. Ia menyeruput white moccanya. Gadis itu berada di dalam dilema. Haruskah ia memberi tahu Sakamoto mengenai peraturan dan gejala-gejala bully yang ia terima?
"Kalau kau belum diancam, baguslah" serunya menyimpulkan.
Sakamoto melanjutkan kata-katanya, "Kau jangan ragu memberitahuku... kalau ia mulai berulah. Aku ingin sekali membongkar kebusukannya".
"Kenapa kau tidak menyukai Miss Watanabe? Dia kan cantik dan berprestasi. Wajar saja jika menyukaimu? Lagipula, maaf kalau aku lancang. Jika kamu belum berkeluarga dan kamu straight, bukankah Miss Watanabe merupakan pilihan yang bisa kamu pertimbangkan?".
Pria berkacamata itu menoleh. Ia tidak menjawab pertanyaan Andara.
Sayang sekali, itu adalah pembicaraan terakhir Andara dan Sakamoto. Setelah itu, pria itu sama sekali tidak mengajaknya bicara hingga situasi menjadi benar-benar canggung.
"Aduh, apa aku salah tanya ya?" gumam Andara gusar.
Wait, apa jangan-jangan mereka berdua memang sudah jadian? Oh no, pantas saja Miss Watanabe overprotektif sekali kepada Sakamoto!
Tapi apa urusannya dengan Shota? Kenapa Miss Watanabe melarang kami semua untuk mendekati Shota?
Masa sih si ibu two-timing?
No way!
Pipi Andara tiba-tiba memerah saat mengingat nama Maruyama, Shota. Senyum dingin pria itu memenuhi relung pikirannya. Ah, dia rindu. Seandainya saja Miss Watanabe tidak membuat peraturan aneh itu. Mungkin ia dan Shota...
Ish, mikir apa sih!!!!, Andara mengacak-acak rambutnya.
Tapi kata-kata Sakamoto barusan benar-benar membuatnya penasaran. Siapa korban Miss Watanabe? Benarkah ia meninggal karena peraturan konyol yang diterapkan oleh wanita paruh baya itu?
Argh, penasaran!!!
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top